Ihwalpendaftaran anggota, tutur Kahar, calon kader yang mendaftar harus mengisi kolom yang ada pada form pendaftaran sesuai situs e-form. Dalam formulir tersebut pendaftar harus mengisi informasi
BagiPartai NasDem sendiri, jika hendak melakukan kaderisasi yang lebih masif, sistematis, dan terukur, diperlukan alternatif dalam bentuk lain. Dalam khazanah perpolitikan RI, sebenarnya terdapat beberapa contoh kaderisasi swadaya yang pernah dilakukan beberapa parpol maupun organisasi pergerakan, baik sebelum maupun sesudah periode kemerdekaan.
DewanPimpinan Daerah (DPD) Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Kota Bekasi setiap Rabu akan menggelar 'Rumah Makan Gratis' di 12 kecamatan. Program ini baru diluncurkan di wilayah Kecamatan Bantargebang. Ketua DPD PSI Kota Bekasi, Tanti Herawati mengatakan, program ini diluncurkan bareng dengan Rumah Makan (RM) di setiap wilayah masing-masing yang telah ditentukan jajaran pengurus partainya.
Vay Tiį»n Nhanh. BAGI partai politik parpol mana pun, sekolah kader ialah bagian dari upaya memenangi kontestasi politik dan mempertahankan kekuasaan setelah memenanginya. Namun, sejatinya memenangi kekuasaan dan mempertahankannya bukanlah kerja tanpa kiblat. Kiblat pertama, bagi parpol mana pun juga, ialah mengikuti ketentuan undang-undang, yakni harus sesuai dengan ideologi dan regulasi yang berlaku, tetapi kendali yang lebih desisif tentu saja berasal dari kiblat kedua, yaitu pilihan konstituen sebagai subjek politik. Di sini, kedipilihan, ketercapaian ambang batas, atau kemenangan mensyaratkan bukan hanya kerja keras dan pengorbanan, tetapi juga kecakapan mengurus kebajikan. Di atas kertas, kendali regulatif boleh jadi mudah diurus. Persoalan verifikasi struktur organisasi partai, dokumen atau bahkan verifikasi faktual, terutama ketika sebuah partai mampu membiayai, tidaklah terlalu sulit. Namun, seperti terlihat dalam beberapa survei terakhir terkait elektabilitas partai, eksistensi partai-partai tertentu, bahkan yang sampai Pemilu 2014 terlihat amanā, kini mengalami penggerusan. Oleh karena itu, persoalan kendali sosial menjadi sangat penting diperhatikan jika sebuah parpol ingin tetap bertahan. Pendidikan bagi kader parpol hakikinya ialah terkait urusan kendali sosial, terutama bagi partai politik yang baru yang belum memiliki massa militan-tradisional punya kader yang cerdas, militan dan terampil ialah hal yang tak bisa ditampik. Meskipun kader politik yang terdidik dan terlatih utamanya diharapkan menjadi ujung tombak pemenangan, secara internal para kader ini bisa berkontribusi lebih banyak. Di samping dimungkinkannya pengembangan berbagai program yang bermanfaat bagi rakyat, partai bisa mengembangkan kohesivitasnya dan bekerja lebih efektif. Lebih jauh, ketika keterkelolaan dan kemenangan hakikiĀnya ialah isu internal partai, keberadaan sumber daya manusia yang cakap dalam partai pemenang akan lebih memungkinkan keterurusan negara. Memenangi pemilu, oleh karena itu, bagi partai yang mempunyai kualifikasi seperti ini, bukan hanya memenangi suara rakyat, tetapi juga melempangkan jalan bagi kebajikan politik, yang pada gilirannya lebih memastikan keberlanjutan partai itu sendiri. Ketika pendidikan atau pelatihan politik dinilai sebagai proses yang mahal, melelahkan dan berproses panjang, partai-partai tertentu boleh jadi memilih cara instan. Meskipun tak terbukti manjur, sebab tak ada riset yang membuktikan keampuhannya secara empirik, mereka umpamanya hanya bertumpu pada mesin partai yang melicinkan jalan dengan uang. Tentu ada juga cara lain yang saat ini lazim. Partai atau politisi yang memiliki cukup modal bisa saja menyewa konsultan, mempekerjakan lembaga survei atau membayar orang atau tim tertentu secara khusus. Namun, lagi-lagi itu hanya satu bentuk usaha, yang ketika semua orang melakukan hal yang kurang lebih sama, hasilnya akan ditentukan oleh hasil kerja tim pemenangan secara keseluruhan. Singkat kata, meskipun dalam berbagai hal memerlukan pembiayaan yang tak sedikit, keterkelolaan kerja politik, hakikinya bertumpu pada keberadaan sumber daya manusia. Ketika berpolitik ialah kerja mengurus kehidupan sosial, politisi atau tim suksesnya, sebagai contoh, dituntut untuk memiliki keterampilan sosial yang tak bisa dibeli begitu saja. Di sini pendidikan kader partai politik menjadi tak bisa ditawar. Kesatria, bajingan, prajurit, dan ratu Dalam bukunya, Motivation, Agency and Public Policy 2003, Julian Le Grand bicara soal bagaimana kebijakan dan pelayanan publik yang baik itu mungkin. Mantan penasihat mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair ini lalu bicara tentang pentingnya motivasi dan apa yang disebutnya sebagai agency keagenan. Supaya kebijakan publik bisa efektif dan efisien, menurut Le Grand, politisi, pelayan publik, dan juga penerima layanan publik perlu memiliki kedua hal ini. Motivasi diartikan sebagai hasrat internal atau pilihan tertentu yang menjadi pemantik tindakan, sedangkan agency dimaknai sebagai kemampuan untuk mengambil tindakan. Dalam ideologi dan sistem politik yang berorientasi kanan, yang bersandar pada mekanisme pasar, motivasi manusia diasumsikan memusat pada pencapaian kepentingan pribadi self-interest. Adapun bagi pendukung kebijakan-kebijakan yang bersifat redistributif, yang negara perlu campur tangan secara proporsional dalam memastikan kesetaraan dan keadilan terkait kebijakan publik, motivasi mesti memusat pada kepedulian pada yang lain altruisme. Le Grand selanjutnya menyebut mereka yang cenderung bermotivasi altruistik sebagai para kesatria the knights dan para pengejar kepentingan pribadi sebagai bajinganā atau pemburu rente the knaves. Dalam era negara kesejahteĀraan yang lebih bersandar pada kolektivisme di Inggris, kata Le Grand, terutama setelah euforia kemenangan Perang Dunia II, altruisme mendapat tempat yang besar dalam sistem layanan publik di Inggris dan banyak negara lainnya. Ini terutama karena banyak orang merasa berada dalam kapal yang samaā. Ketika campur tangan negara besar atau ketika pasar menjadi demikian koersif, yang kebijakan dan layanan publik yang ada membuat warga tak punya pilihan lain, muncul fenomena yang disebut Le Grand sebagai mentalitas prajurit pawns. Pelayan ataupun penerima layanan publik bersikap pasif, menunggu perintah atau perbaikan nasib sesuai keinginan pembuat kebijakan. Dalam konteks kerja pelayanan publik seperti ini, mudah muncul apa yang disebut sebagai free riders, pelayan publik yang malas, culas, manipulatif, dan sebagainya. Di sisi penerima layanan, orang-orang rela untuk menerima nasib dirawat di bangsal-bangsal rumah sakit dengan perawatan seadanya. Para murid di sekolah-sekolah juga terpaksa belajar apa adanya, dengan guru-guru yang juga berpenghasilan apa adanya. Situasi dan kondisi yang membuat orang-orang menjadi bermotivasi itu harus diubah. Kebijakan publik, kata Le Grand, terutama sejak masa pemerintahan Margaret Thatcher, kemudian digeser lebih ke kanan. Sebagai kebalikan dari mental prajurit, kebijakan-kebijakan yang dibuat harus bisa mendorong orang untuk bermotivasi sebagai ratu queens, yang perkasa dan mencintai hidup. Dia bisa bermain di tengah pasar untuk mencukupkanā kepentingan pribadi, tetapi di sisi lain, dia ialah kesatria yang mampu berbuat bagi yang lain. Inilah yang kemudian disebut oleh Le Grand sebagai manusia dengan agency, yang punya kapasitas untuk berbuat dan melakukan perubahan. Pendidikan kader parpol Dalam konteks pendidikan kader partai politik parpol, empat kategori Le Grand tentu bermanfaat. Sesuai dengan ideologi dan doktrin masing-masing, parpol bisa memilih kiblat pendidikan kadernya apakah akan menjadi kesatria yang bermotivasi altruistik, bajingan yang fokus pada kepentingan pribadi, prajurit yang siap menerima perintah, atau ratu yang bisa bergerak bebas, perkasa dan desisif. Jika mengacu pada kiblat ideologis dan konstitusional serta kendali elektabilitas, partai politik tentu akan memilih untuk bergerak di tengah, bahwa kebebasan dan keterjaminan hak-hak warga negara secara adil itu sama pentingnya. Dengan kata lain, mendidik kader partai menjadi orang yang peduli itu sama pentingnya dengan memastikan keberhasilan mereka mencukupkanā kebutuhan pribadi. Demikian juga, jika pilihannya ialah antara mendidik kader-kader partai menjadi prajurit atau menjadi ratu, prinsip keseimbangan tentu wajib jadi pertimbangan. Ruang gerak dalam struktur partai, bahwa siapa pun yang memiliki kemampuan untuk berbuat memiliki peluang, perlu terbuka. Akan tetapi, dalam situasi tertentu, kader partai ialah prajurit yang juga siap mengikhlaskan egoismenya, memiliki keberanian untuk menerima pilihan yang lebih baik dari apa yang sanggup dipikirkan dan dilakukannya. Jika bicara soal militansi, ini kita sebut saja sebagai militansi aktivis, bukan pasifis.
Ilustrasi Politik anak muda sebuah partai politik di Indonesia masih dianggap tergantung sosok ketua umum partai. Seolah ketua umum menjadi satu-satunya faktor penentu terkait popularitas dan elektabilitas partai. Pada kenyataannya, sekuat dan sehebat apapun ketua partai, mereka masih membutuhkan tenaga dan gagasan kader-kadernya untuk mengoptimalisasi kinerja mesin partai. Dengan demikian, mendapatkan kader dengan talenta terbaik seharusnya menjadi prioritas seluruh pengurus partai di tingkat pusat maupun cabang. Berangkat dari hal tersebut, memahami politician branding semakin penting bagi setiap partai politik yang ingin maju dan beradaptasi dengan semangat zaman baru. Politician branding sendiri merupakan sebuah usaha partai politik untuk membangun citra positif agar menjadi ruang idaman dan jalan bagi publik, terutama generasi milenial yang ingin riset IDN Research Institute dalam Indonesia Milenial Report 2019, partai politik dengan tingkat awareness paling tinggi yang menembus 90 persen di kalangan milenial hanya PDI Perjuangan 93,9 persen, Partai Golkar 93,9 persen, dan Partai Gerindra 91,1 persen. Di sisi lain, 70 persen milenial memilih karena tokoh bukan partai politik. Dari data ini kita dapat melihat, bahwa politician branding belum dilakukan dengan baik oleh partai menjadi pekerjaan rumah bersama bagi partai-partai politik khusunya yang belum menembus tiga besar tersebut. Karena bagaimana pun, pada tahun 2019, suara terbesar berasal dari generasi milenial, kalangan ini menjadi kunci kemenangan politik. Namun ketidakpedulian mereka terhadap politik menjadi tantangan sendiri bagi partai untuk mendapatkan pasukan terbaik dari generasi milenial. Politician Branding untuk MilenialIlustrasi Milenial Foto PixabaySaat ini cukup sering ditemukan, generasi milenial yang mulai coba-coba ikut berpolitik, terlebih mereka lebih senang menjadi relawan pemenangan dari pada aktif terlibat menjadi kader partai. Menjadi relawan bagi sebagaian milenial, berarti mendapatkan benefit berupa uang jajan tambahan atau sembari menunggu lowongan pekerjaan lain. Untuk menjadi kader suatu partai politik, bukanlah pilihan utama bagi generasi ini, terutama bagi mereka yang miliki kemampuan di atas rata-rata. Alih-alih menjadi kader partai, mereka lebih senang menyediakan jasa dengan biaya yang lumayan besar. Tentunya dengan kinerja yang memuaskan dan hasil yang dapat generasi milenial dengan kemampuan pas-pasan malah betah hidup di partai, sembari mencaci-maki partainya sediri, membual dengan kerja serampangan. Banyak dari kalangan milenial macam ini, membawa pengaruh negatif terhadap kinerja dan citra partai. Bahkan, mereka tidak sungkan untuk membeberkan informasi internal partai kepada teman-teman sebayanya, agar terlihat kritis dan hebat. Dampaknya, merekrut anak muda seperti ini hanya akan membuat anggaran politik semakin besar dengan mesin partai yang tidak berjalan efektif dan efisien. Pola rekrutmen anak muda di dalam partai politik sering kali hanya mengandalkan kedekatan semata tanpa mempertimbangkan keterampilannya. Atau hanya menunggu anak-anak muda mantan organisasi mahasiswa yang masih kesulitan menembus lapangan kerja untuk masuk ke dalam partai politik. Hal ini yang selalu membuat, partai politik kesulitan untuk mendapatkan kader dengan talenta berkualitas, karena partai telalu senang menunggu calon anggota, dan menerima apa adanya kualitas anak muda yang asal mau bergabung. Maka dari itu, politician branding perlu dilakukan partai untuk mendapatkan calon politisi milenial dengan talenta terbaik. Caranya, partai politik harus mulai berbenah diri terutama terkait citra partai agar lebih fresh, fun, cozy, hype, passionate, dan millennial-friendly. Dengan demikian, partai politik bisa menjadi muara bagi berbagai macam aliran politik generasi milenial. Partai politik dengan politician branding yang baik, pastinya akan menjadi pilihan pertama bagi calon politisi generasi milenial berkualitas yang berniat terjun dalam politik. Tidak hanya meningkatkan partisipasi politik, milenial akan bangga menjadi bagian dari partai politik. Mereka tidak akan malu-malu lagi untuk menyatakan diri sebagai politisi sekaligus kader partai politik. Karena partai politik dengan citra yang keren akan membuat generasi milenial ikut merasa menjadi sesuatu yang keren pula. Tren ini tentunya positif bagi estafet kepemimpinan politik Indonesia di masa mendatang, selama tetap diarahkan kepada visi-misi yang politician branding dapat dioperasikan secara masif, partai akan mendapatkan banyak manfaat, tidak hanya dari energi segar para politisi newcomers. Tetapi juga kepada seluruh politisi senior yang akan membuat kedua belah pihak menjadi dinamis dan kolaboratif dalam merumuskan strategi kerja-kerja politik kontemporer. Seiring berjalan, partai politik harus memberikan jaminan, kenyamanan dan masa depan jejang politik yang fair bagi para politisi muda bertalenta untuk mendapatkan posisi strategis karena kemampuan dan keterampilannya. Apalagi mengingat generasi milenial merupakan generasi yang tidak loyal terhadap lembaga yang tidak dapat menegakan reward and punishment secara transparan, setara sekaligus adil. Jika ini tidak dijalankan dengan ideal oleh partai, fenomena bajing loncat yang marak dalam dunia politik di Indonesia akan semakin lestari dan berkembangbiak di benak politisi milenial kita hari ini. Bagaimana Partai Politik Memulainya?Ilustrasi Politik Foto Game of Thrones FacebookPolitician brading merupakan upaya jangka panjang dan konsisten untuk mengubah citra kader dan partai politiknya. Karena partai politik tidak bisa hanya mengandalkan relasi maupun patronase politik untuk mendapat calon kader milenial yang berkualitas. Partai politik harus lebih membuka diri untuk menarik milenial berkualitas di luar ekosistem partainya sendiri. Partai politik harus memulai mengoreksi segala infrastruktur maupun suprasktruktur. Mulai dari desain interior kantor sekertariat, berbagai produk kampanye politik hingga isu-isu strategis agar beradaptasi dengan selera generasi itu, politician branding perlu mempromosikan politician value propotion PVP dari partainya masing-masing. Maksud dari PVP adalah ketika partai memberikan janji terkait berbagai manfaat yang akan diberikan kepada para calon politisi yang mau bergabung menjadi anggota seperti ideologi yang sesuai, jejang politik yang terukur, jaringan politik yang luas, struktur politik yang berimbang, budaya politik yang menyenangkan, kantor partai yang asik, mendapatkan fasilitas pengembangan keterampilan, kompensasi atas prestasi dan lain semacamnya tergantung penawaran partai. PVP merupakan janji partai kepada kader yang harus dilaksanakan. Karena jika partai tidak bisa memenuhi semua janjinya kepada kader-kadernya, dapat membuat kader menjadi tidak loyal terhadap partai, terutama bagi kader-kader milenial nyang memiliki talenta bagus. Mereka dapat menjadi duri dalam daging atau berpindah partai untuk mencari kesempatan baru. Tentunya, dalam hal ini partai akan sangat demikian, bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam mendorong milenial masuk partai politik perlu memperlakukan milenial secara berbeda. Partai perlu melakukan modifikasi, improvisasi dan inovasi untuk menyerap gagasan politisi milenial. Partai perlu belajar memfasilitasi kreativitas dan imajinasi politik generasi milenial, agar tidak semakin berjarak dengan generasi ini. Karena dalam dinamika demokrasi saat ini, partai politiklah yang lebih membutuhkan calon politisi milenial berkualitas, bukan adalah Komisaris Warga muda, sebuah lembaga yang bergerak di kajian bonus demografi, youth policy, dan youth development. Ia dapat ditemui di Instagram
Jakarta ANTARA - Sekretaris Jenderal Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani meminta para kader menggalang dukungan untuk partai dan bakal calon presiden capres Prabowo Subianto. "Cara berjuang memenangkan Gerindra untuk Pemilu 2024 dengan menggalang dukungan tetangga. Sampaikan ke tetangga untuk 50 rumah ke depan, belakang, samping kanan dan kiri," katanya di Jakarta, Sabtu. Cara berjuang itu disampaikan Muzani pada pertemuan konsolidasi ribuan saksi Gerindra dari tiga kecamatan di Jakarta Timur. Cara berjuang selanjutnya dengan menjaga perilaku di masyarakat, menjadi contoh untuk masyarakat dan menjelaskan secara baik serta sopan, untuk orang-orang yang tidak senang dengan Prabowo dan Gerindra. "Bila ada berita baik tentang Prabowo dan gerindra, tolong disebarkan," ujarnya. Baca juga Gerindra ingatkan caleg agar tidak beri janji palsu pada Pemilu 2024 Baca juga Gerindra nilai pernyataan PKB evaluasi koalisi masukan bukan ancaman Dia juga meminta untuk menggunakan gawai sebagai alat perjuangan baru melalui perang udara. Dia berpesan agar para kader tetap tenang, tidak usah grasa grusu, karena Pemilu masih tersisa delapan bulan lagi. Sementara itu, Ketua Badan Pemenangan Pemilu Bappilu Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad berpesan agar para kader, untuk menggencarkan serangan darat dengan mengetok pintu rumah warga. "Sampaikan pesan-pesan dari Prabowo Subianto dan Partai Gerindra," katanya. Dasco meminta agar para kader yang akan menjadi saksi di tempat pemungutan suara TPS tetap bersemangat, walaupun ada kader yang meninggalkan partai dan pindah ke partai lain. "Perlu kebesaran jiwa dan kekompakan," ucapnya. Dalam pertemuan tersebut, diselingi undian bagi-bagi uang tunai dengan total ratusan juta rupiah dan beberapa unit motor. Untuk diketahui, pendaftaran bakal capres dan cawapres dijadwalkan pada 19 Oktober hingga 25 November 2023. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu UU Pemilu, pasangan capres dan cawapres diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya. Saat ini, ada 575 kursi di parlemen, sehingga pasangan capres dan cawapres pada Pilpres 2024 harus memiliki dukungan minimal 115 kursi di DPR RI. Bisa juga pasangan calon diusung oleh parpol atau gabungan parpol peserta Pemilu 2019 dengan total perolehan suara sah minimal FauziEditor Chandra Hamdani Noor COPYRIGHT Ā© ANTARA 2023
cara menjadi kader partai